-->

Saturday, September 30, 2017

Mengukuhkan Nirwana (part 2)

Kamu adalah sarana,  sejarah yang bergerak. 
Sebagai analogi anti klimaks,  pertanda babak baru. 
Kamu terlahir dan kembali.   
Si kuat pemangsa tua-tua. 
Percabangan timbal balik dari rutin hakiki yang kiblatnya mengarah ke tanah. 
Entah neraka atau surga atau jenis yang mana yang kamu sembah. 

Sepertinya talenta itu telah meluntur meluncur menerjang batu-batu runcing. 
Tepat terjerembab di dasar hutan hitam yang lembab dan dingin di antara dua gunung api. 
Hunian terburuk dari yang paling buruk yang secara aklamasi tercipta untuk kamu. 
Sekedar kutipan spontan yang menggagas tentang campur tanganmu.

Kabar baiknya,  kebahagian tidak pernah diingat untuk dituang ke dalam bejana retak murahan sepertimu. 
Bahkan kamu tidak sadar,  1001 bahasa nabi yang keluar dari mulutmu,  kamu tetap rendah. 
Sengaja atau tidak sengaja,  api tetaplah api. 
Itu fase tersendiri. 
Seperti penjaja bangku kosong saja. 

Kamu menaikkan nada dan tensi kalimatmu untuk berlindung. 
Memajang taring-taring yang tanpa tata. 
Mungkin demi perhatian dari mereka. 
Yang kilau pantatnya jauh lebih kamu jaga dari pada kilau sinar hatimu.
Terlalu kotor aturan mainmu. 

Egomu sudah besar sekarang,  sudah pantas dikawin dan dibiakkan. 
Dalam satu kali pesta penganugerahan agung. 
Segala raja duduk terhormat di kala para pelayan akan diundi,  siapa yang akan ditumbalkan dalam pesta. 
Cuma demi kesenangan saudara kembarnya,  gengsi. 

Mengapa kamu tanyakan tentang penghiburan kepadaku? 
Aku ini si sukma sesat. 
Aku harus iri,  aku harus cemburu,  aku harus berkhayal terus-terusan,  dan juga siaga menerkam,  aku harus seperti pemangsa meski sedang diburu. 

Ke-aku-an ini adalah hal besar nan kuat,  punya akar jalar yang mencengkram dan prinsipil. 
Ikhtiar adalah hal terlincah di antaranya,  warnanya berubah secepat kilat ketika beradaptasi. 

Aku istimewa. 
Tidak pernah ada kebebasan bagimu untuk menggunakan aku. 
Tidak pernah ada cinta yang ku berikan untuk ditelantarkan. 
Tidak pernah ada nyaring suaramu yang menenggelamkan suaraku. 
Tidak pernah ada ekspektasi penerimaan atas diriku seperti yang ku beri pada kamu. 
Hatimu tidak seperti milikku. 
Mataku tidak pernah jatuh hati kepada wajah. 
Dan mata hatiku bukan barang cacat yang suka mengemis dan pendiam karena malas. 
Aku masih hidup,  masih manusia,  dan masih terus berharap. 
Opini dan persepsi tidak mengubahku atau menghidupiku. 
Aku-lah jelmaan pribadiku yang gemar berbicara. 
Sebab,  aku istimewa. 

#citra_autisimo

No comments:

Post a Comment

Silahkan ketik komentar, kritik, atau saran anda di sini...

Arsip

addThis

addThis